EFEKTIVITAS MADU PADA PERAWATAN LUKA

    

Efektivitas Madu Pada Perawatan Luka

Penggunaan tanaman sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit telah dilakukan secara turun temurun dan menjadi sebuah kebiasaan pada masyarakat di Indonesia, seperti penggunaan jahe dan kunyit atau yang sering disebut sebagai jamu (Sari, Yuniar, Siahaan, Riswati, & Syaripuddin, 2015). Penggunaan tanaman sebagai obat tidak hanya menyembuhakan keluhan seperti batuk, namun juga pada penyembuhan luka. Secara umum pelayanan kesehatan masyarakat merupakan sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat (Sulaiman & Anggriani, 2019). Madu juga sering digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti luka bakar dan luka kronis (Majtan, 2014; Oryan, Alemzadeh, & s Moshiri, 2016). Madu memiliki sifat antimikrobial spectrum luas dan senyawa yang dapat menyebabkan percepatan penyembuhan luka (Majtan, 2014).

Madu merupakan cairan kental, dengan kandungan gula jenuh, berasal dari nektar bunga yang dikumpulkan dan dimodifikasi oleh lebah madu Apis mellifera. Secara umum, madu memiliki kandungan utama ± 30% glukosa, 40% fruktosa, 5% sukrosa, dan 20% air; selain itu, terkandung pula sejumlah senyawa asam amino, vitamin, mineral, dan enzim. Sekitar tahun 1970, popularitas penggunaan madu dalam perawatan luka kembali bersinar dan terutama ditujukan untuk perawatan luka operasi terinfeksi, luka bakar, dan ulkus dekubitus.

Manfaat Madu

Madu memiliki beberapa karakteristik penting dalam proses penyembuhan luka seperti aktivitas antiinflamasi, aktivitas antibakterial, aktivitas antioksidan, kemampuan menstimulasi proses pengangkatan jaringan mati/ debridement, mengurangi bau pada luka, serta mempertahankan kelembapan luka yang pada akhirnya dapat membantu mempercepat penyembuhan luka.

Potensi Madu dalam Penyembuhan Luka

Aktivitas Antiinflamasi

Saat ini aktivitas antiinflamasi madu telah terbukti secara luas baik melalui aspek klinis, biokimiawi, maupun histologis. Secara klinis, aplikasi madu pada luka terbukti dapat mengurangi edema dan pembentukan eksudat, meminimalisasi pembentukan jaringan parut, dan mengurangi sensasi nyeri pada luka bakar atau jenis luka lainnya. Dalam uji coba klinis membandingkan penggunaan silver sulvadiazine dan madu pada luka bakar, diperoleh temuan biokimiawi bahwa madu mampu menurunkan kadar malondialdehid dan lipid peroxide serta secara histologis dijumpai penurunan jumlah sel radang pada jaringan.  Mekanisme antiinflamasi madu juga diduga didasari oleh inaktivasi reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan oleh sel fagosit. Meskipun demikian, aktivitas madu dalam menurunkan kadar ROS masih kontroversial.

Aktivitas Antibakterial 

Potensi antibakterial madu diperoleh melalui:

  • Tingginya osmolaritas madu akibat kandungan gula yang cukup tinggi akan menarik cairan intraseluler bakteri, sehingga akhirnya terjadi plasmolisis.
  • Kandungan hidrogen peroksida, senyawa kimia yang dibentuk secara lambat oleh glukosa oksidase yang secara alami ditambahkan oleh lebah selama pembuatan madu.
  • Kandungan senyawa kimia tertentu (phytochemical) dari nektar tumbuh-tumbuhan tertentu.
Madu terbukti memiliki spektrum potensi antibakterial sangat luas, madu mampu menghambat pertumbuhan kuman gram positif ataupun negatif, serta kuman aerob ataupun anaerob. Penggunaan madu untuk perawatan luka kian diminati setelah madu terbukti efektif melawan golongan bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik seperti Pseudomonas, MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus), coagulase negative Staphylococci, VRE (vancomycin-resistant Enterococci), Acinetobacter baumanii, dan Stenotrophomonas maltophilia.

Aktivitas Antioksidan

Potensi antioksidan madu diduga berkaitan erat dengan potensi antiinflamasinya. Radikal bebas yang dibentuk dari oksigen, atau dikenal dengan istilah reactive oxygen species (ROS), diproduksi pada rantai respirasi mitokondria dan oleh leukosit saat terjadi inflamasi. ROS berperan sebagai pembawa pesan (messenger) yang menghantarkan umpan balik positif saat timbul inflamasi dan proses ini dapat dihambat oleh antioksidan.

Potensi Debridement

Manfaat madu dalam pengangkatan jaringan mati atau debridemen tidak lepas dari potensi antiinflamasinya. Pada luka kronis, sering dijumpai adanya slough (lapisan pada permukaan dasar luka yang merupakan akumulasi jaringan nekrotik, sel darah putih mati, bakteri mati, dan jaringan ikat) yang dapat menghambat proses penyembuhan luka dan meningkatkan risiko kolonisasi bakteri. Perlekatan slough pada permukaan dasar luka yang sehat tersebut diperantarai oleh fibrin yang akan terurai apabila terdapat cukup plasmin pada area luka tersebut. Namun, pada saat terjadi peradangan justru akan terbentuk lebih banyak plasminogen activator inhibitor (PAI); PAI itu sendiri pada dasarnya berfungsi menghambat aktivator plasminogen yang bertugas mengonversi plasminogen (prekursor plasmin inaktif) menjadi plasmin. Penggunaan madu akan menghambat produksi PAI, sehingga akhirnya akan terbentuk lebih banyak plasmin yang bertugas mengurai fibrin dan melepaskan perlekatan slough pada permukaan dasar luka yang sehat tanpa penguraian matriks kolagen yang diperlukan untuk perbaikan jaringan. Manfaat madu dalam membantu debridemen telah terbukti dalam sejumlah uji coba klinis luka bakar. Madu terbukti mampu mencegah pembentukan eskar pada luka bakar; di lain pihak, pada luka yang dirawat menggunakan silver sulfadiazine justru dijumpai pembentukan eskar. Luka bakar yang mendapat intervensi madu waktu penyembuhannya lebih singkat dibandingkan dengan luka yang dirawat menggunakan silver sulfadiazine. 

Kemampuan Mempercepat Laju Penyembuhan

Secara umum, madu bersifat asam dan memiliki kisaran pH 3,2 – 4,5. Kondisi luka yang asam akan meningkatkan pelepasan oksigen dari hemoglobin, sehingga dapat mendukung proses penyembuhan luka. Selain itu, pada rentang pH tersebut, aktivitas protease dalam menghancurkan matriks kolagen yang diperlukan bagi perbaikan jaringan pun akan dihambat. Osmolaritas madu yang tinggi akibat tingginya kandungan gula akan menimbulkan efek osmotik, sehingga akan menarik cairan dari permukaan luka; jika sirkulasi darah jaringan di bawah luka baik, efek osmotik gula justru akan memperlancar aliran keluar cairan limfe. Mekanisme ini dapat dianalogikan dengan perawatan luka menggunakan tekanan negatif (negative pressure wound therapy/ NPWT) yang dinilai bermanfaat mempercepat penyembuhan luka.

Madu dalam Perawatan Luka

Manfaat madu tidak hanya dapat diperoleh dari madu manuka yang telah terdaftar dan tersertifikasi sebagai salah satu komponen perawatan luka tetapi juga dimiliki oleh madu lokal Indonesia. Dalam penelitian di RSCM (2010) yang membandingkan potensi antibakterial madu lokal Indonesia (Madu Murni Nusantara) dan madu manuka, disimpulkan bahwa madu lokal Indonesia efektif mengatasi infeksi P. aeruginosa, MRSA, dan S.aureus. Meksipun demikian, konsentrasi minimum untuk mendapatkan efek inhibisi (minimum inhibitory concentration/ MIC) madu lokal lebih tinggi bila dibandingkan dengan madu manuka. Terkait faktor MIC yang turut menentukan potensi antibakterial madu, perlu ditetapkan standar perawatan luka (misal: frekuensi penggantian balut luka), sehingga kadar madu yang terdilusi oleh eksudat tetap mencapai MIC. Dalam salah satu uji coba klinis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia pada tahun 2012, diperoleh data bahwa penggantian balut madu setiap 2 hari memberikan hasil cukup baik dalam hal penurunan rerata area luka non-epitelisasi. Meskipun demikian, penggantian balut madu setiap hari tetap lebih direkomendasikan karena didapatkan penurunan rerata area luka non-epitelisasi yang lebih cepat bila dibandingkan dengan penggantian balut madu setiap 2 hari.





Sumber: Gunawan, N. A. (2017). Madu: Efektivitasnya Dalam untuk Perawatan Luka. Cermin Dunia Kedokteran44(2), 399678.

Komentar